Ular Randu Alas
Karya : S Prasetyo Utomo
Tersembunyi kisah rahasia pada sebatang pohon randu
alas tua. Tak seorang pun berani menebangnya. Seabad sudah pohon randu alas itu
berumur. Aku menduga, pohon randu alas yang menjulang kokoh di tepi jalan
pertigaan menuju perumahan tempat tinggalku berumur lebih dari seabad.
Sejak aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh
sebesar sekarang—empat rentangan tangan orang dewasa—rindang dan menggugurkan
daun-daun kering kekuningan pada musim kemarau. Umurku kini enam puluh dua,
sudah beberapa tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri
tegak, rimbun dedaunan, dan dianggap angker.
Seekor ular bersarang di rongga lapuk
pangkal pohon randu alas yang menganga serupa gua. Bila diintip ke dalam gelap
rongga pangkal pohon itu, tampak sepasang mata ular berkilau mengancam.
Sepasang mata seekor ular yang siap mematukku, suatu saat bila aku terlena.
Sebatang pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon
randu alas—mungkin sisa hutan jambu yang ditebang habis untuk lahan perumahan.
Dari dua cabang pohon jambu terjulur beberapa ranting dan bergelantungan
buah-buah yang selalu ranum. Tak jauh dari pohon jambu, tumbuh pohon melati
liar, bermekaran bunga-bunga putih mungil. Tercium lembut wangi tiap pagi.
Untuk cucu kesayanganku, Aini, kupetik buah-buah jambu
ranum kesukaannya dan bunga-bunga melati yang dijadikannya sebagai mainan.
Menjelang siang ia pulang sekolah taman kanak-kanak bersama teman-temannya,
beramai-ramai makan buah jambu, dan bermain-main kembang-kembang melati yang
kupetik.
Berada di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa
cemas. Dalam mimpiku enam tahun silam, seorang nenek keriput dengan tongkat
kepala ular, mengutukku, ”Kau tega melukai ular penunggu randu alas. Tiba
waktunya nanti, pada umurmu yang ke-62, ular itu akan mematukmu!”
***
Gairah untuk memetiki buah-buah jambu yang ranum,
dengan merenggut ujung ranting dan menjulurkan tangan meraih buah-buah itu,
menggetarkan tubuhku. Kutukan perempuan tua penunggu randu alas itu, yang
datang dalam mimpi, sudah saatnya terjadi. Aku mesti menjemput takdirku. Bila
memang harus mati dipatuk ular, biarlah aku merasakan sakit patukan ular yang
dulu pernah kucederai, dan melata ke arah rongga pangkal randu alas, dengan
ceceran darah di rerumputan.
Aku tak sengaja melukai ular itu. Cangkul yang
kuayunkan untuk membersihkan rerumputan di bawah pohon randu alas dan meratakan
tanah tak kusadari merobek daging seekor ular. Ular itu melata ke arah rongga
pangkal pohon randu alas. Aku merasa tak bersalah. Kuteruskan mengayunkan
cangkul, membersihkan rerumputan dan meratakan tanah.
Pohon jambu biji kubiarkan tumbuh di bawah pohon randu
alas. Ada pula pohon melati yang masih kecil, yang tak kucabut. Kubiarkan
tumbuh liar. Kuratakan tanah dan terus kutimbuni agar lebih tinggi. Akan
kuundang tukang batu untuk mendirikan sebuah kios sederhana. Di kios itu aku
akan menjual barang-barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari.
Malam harinya aku bermimpi, nenek bertongkat kepala
ular, menatapku dengan murka. Wajahnya bengis, sepasang matanya mengancam. Ia
mengutukku. Ular penunggu pohon randu itu bakal mematukku pada ulang tahun
ke-62. Begitu tegas kutukan nenek bertongkat kepala ular, seperti hadir dalam
kehidupan sehari-hari dan bukan terjadi dalam mimpi.
Mimpi burukku tak menghentikan pembuatan kios
kelontong. Tiap pagi aku membuka kios, melayani pembeli, hingga malam larut.
Mula-mula jarang orang berbelanja ke kiosku. Tapi lama-kelamaan, berdatangan
pula orang-orang berbelanja.
”Kau tak takut akan digigit ular
penunggu pohon randu?” tanya Lik Man, lelaki setengah baya, pencari rumput
untuk kambing-kambingnya. Ia dulu menjual ladang jambu miliknya, yang didirikan
perumahan, dan memilih pindah ke daerah perkampungan, dengan tanah yang luas.
Di rumah baru, ia masih bisa bercocok tanam dan memelihara kambing. Ia paling
sering mencari rumput di bawah pohon randu alas. Di sini rerumputan tumbuh
subur, dan dalam waktu sebentar, ia sudah memanggul segulung rumput, yang
diikat erat, diletakkan di bawah pohon jambu. Ia meneguk kopi di warung Yu
Warso dan membeli rokok di kiosku. Di warung Yu Warso itu ia biasa ngobrol dan
baru pulang menjelang siang.
”Kau selalu merumput di bawah pohon randu. Tak takut
digigit ular?”
”Sejak muda dulu aku selalu mencari rumput di sini.
Tak pernah kulihat ular itu. Yang selalu kutemukan cuma kulit ular, menjalar di
rerumputan. Kau pernah melihat ular itu?”
”Aku pernah melukainya dengan cangkulku.”
”Hati-hatilah!” Lik Man meninggalkanku.
***
Tak seorang pun melihat Lik Man. Menjelang siang ia
membawa sabit ke bawah pohon randu dengan rokok mengepul di bibirnya. Matahari
sudah bergeser dari puncak pohon randu alas. Biasanya Lik Man meninggalkan
bawah pohon randu alas, memanggul gulungan rumputnya pulang, setelah minum kopi
dan makan pisang goreng di warung Yu Warso. Anak lelaki Lik Man mulai mencari
ayahnya. Ia sempat menyapaku, sebelum menyusup ke dalam semak-semak.
Dari bawah pohon randu alas, kudengar ia memekik,
”Ayah meninggal!”
Kudapati Lik Man terbujur kaku, masih menggenggam
sabit. Mulutnya berbusa. Kaki kirinya melepuh biru kehitaman darah beku.
Terlihat dua titik bekas patukan ular. Darah ular berceceran di rerumputan,
lenyap di rongga keropos pangkal pohon randu alas. Sabit Lik Man, secara tak
sengaja, mungkin telah melukai ular penunggu pohon randu alas dan ular itu
menggigitnya.
***
Melintasi pertokoan senja hari, di trotoar, sepulang
dari belanja untuk keperluan kios kelontong, kulewati seorang penjual obat oles
yang menggelar tikar, dengan ular dalam kotak kayu. Sama sekali orang lalu
lalang tak menghiraukannya. Ia menawarkan obat oles untuk menyembuhkan penyakit
kulit. Tak seorang pun datang mendekat. Lelaki setengah baya bersorban putih,
berjenggot, masih duduk dengan tenang. Aku sempat memandanginya, sambil menanti
bus kota di halte.
Lelaki setengah baya bersorban itu melambai ke arahku.
”Kemarilah!” panggilnya.
Aku bimbang untuk mendekat. Sepasang matanya seperti
menuntunku untuk menghampiri dan berjongkok di depannya. Dia memintaku untuk
menjulurkan tangan kiri dan membuka telapak tangan. Ia baca garis telapak
tangan itu.
”Kau perlu kekebalan,” kata lelaki penjual obat
bersorban, sambil mengelus jenggotnya. ”Suatu hari kelak kau akan dipatuk
ular.”
Teringat ular penunggu randu alas yang pernah kulukai,
kutukan perempuan tua bertongkat ular dalam mimpi, dan kematian Lik Man yang
dipatuk ular, aku merasakan degup dada yang mengencang.
”Kau dapat memberiku kekebalan?”
”Kalau kau yakin, insya Allah, tubuhmu akan kebal
dipatuk ular,” lelaki setengah baya berjenggot itu meyakinkan. Aku mengangguk.
Meminum segelas air putih darinya. Pergelangan kaki kananku diolesi minyak dan
seekor ular dari dalam kotak kayu dikeluarkannya. Aku memejamkan mata. Begitu
cepat terasa patukan dua gigi ular pada pergelangan kaki.
”Kau akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu
mengejang, sulit digerakkan. Tak lama. Kau akan segera pulih seperti
sediakala.”
***
Berjingkat-jingkat aku meraih buah-buah jambu. Masih
kuingat kutukan perempuan tua bertongkat kepala ular. Pada hari kelahiranku
yang ke-62, seekor ular akan mematukku. Aku sama sekali tak takut dengan
patukan ular itu. Mungkin aku akan benar-benar dipatuk ular, sebagaimana enam
tahun silam perempuan tua berambut memutih dengan mata murka itu mengutukiku
dalam mimpi. Aku tak perlu ragu memetiki buah jambu yang ranum. Juga nanti akan
kupetiki kembang-kembang melati untuk Aini.
Kalaupun seekor ular mematukku, tukang obat di trotoar
pertokoan itu telah memberiku kekebalan. Gigitan ular tukang obat yang tak
kukenal itu memang menyebabkan pandanganku berkunang-kunang, kaki kanan
mengejang kaku. Darah seperti membeku. Tapi tak lama. Pandanganku kembali
terang dan kaki kananku segera dapat kugerakkan. Kuberikan selembar uang dari
dompetku, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Tiap kali
aku berbelanja untuk keperluan kios kelontongku, selalu kucari dia. Tapi tempat
ia menggelar tikar, obat-obat oles, dan kotak ular selalu kosong.
Harus kusambut hari ini, pagi ke-62 umurku, saat
kutukan perempuan tua dalam mimpi itu akan terjadi. Kalau benar seekor ular itu
mematukku pagi ini, mungkin seperti kata lelaki setengah baya bersorban penjual
obat, aku akan kebal. Tubuhku hanya merasakan sengatan patukan ular itu, mata
berkunang-kunang, bagian yang dipatuk akan terasa mengejang. Tak lama. Setelah
itu aku akan leluasa bergerak seperti sediakala. Tapi kalau penjual obat itu
berdusta, ketika ular penunggu pohon randu alas mematukku, tubuhku akan segera
kaku seperti Lik Man.
Buah-buah jambu yang ranum terus kupetiki. Teringat
aku pada cucuku, Aini, yang tinggal serumah denganku, akan pulang sekolah, aku
bergairah memetiki buah-buah jambu. Ia suka membagi-bagikan buah jambu pada
teman-temannya dan bahagia dipuji sebagai putri yang baik hati.
Aku meraih ujung ranting pohon jambu, meloncat, agar
dapat menarik ranting itu dan memetik beberapa buah jambu ranum. Kakiku
menginjak seekor ular. Ular itu menggeliat, mematuk kaki kananku. Aku tak
sempat memekik. Terjatuh. Merasakan patukan ular yang menyengat. Mataku
berkunang-kunang. Kaki kananku mengejang.
Mungkin aku akan segera bangkit dengan tubuh segar
bugar seperti sediakala, tanpa luka dan rasa sakit. Mungkin tubuhku akan segera
terbujur kaku, tergeletak di rerumputan, di bawah pohon randu alas, pohon
jambu, dan bunga melati. Tapi, aneh, dalam pandanganku yang berkunang-kunang,
kulihat Lik Man sedang merumput. Wajahnya bahagia sekali. Di seberangnya
kulihat lelaki setengah baya bersorban penjual obat. Wajahnya tenang, penuh
keyakinan, dan sepasang matanya teduh.
Dari jauh, samar-samar kudengar suara Aini
memanggil-manggilku dengan suara yang riang, penuh harapan, ”Kakek, mana
buah-buah jambuku? Petikkan juga bunga-bunga melati untukku!”
Pandana Merdeka, April 2011
Written by tukang kliping
4 September 2011 pada 13:15
Ditulis dalam Cerpen
Tagged with S Prasetyo Utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar