Angin dari
Ujung Angin
Karya : Triyanto Triwikromo
“Sudahlah Herma, kau
tak perlu membayangkan lagi warna wajah ayahmu saat dia menghilang dengan
menunggang kuda ke tenggara kota. Yang kutahu, mengenakan topeng emas mirip
penunggang kuda dari atas angin 1), sayap di kedua bahunya berkibar-kibar
membelah malam. Aku pun tak bisa melihat wajahnya. Mungkin dia telah menjelma
iblis. Punggungnya berkilat-kilat, menusuk-nusuk, memisau mata,” kata Hilda,
perempuan bergaun tidur hijau muda itu sambil membereskan meja belajar Herma
yang dipenuhi lukisan-lukisan pria berkuda berwajah tanpa warna.
Tetapi,
teman-temanku bisa mewarnai wajah ayahnya, Ibu. Meskipun Niko melukis wajah
ayahnya menyerupai harimau, tetapi dia bisa mengoleskan wara merah di kedua
pipinya yang menggelembung,” suara Herma melayang, mendengung di telinga Hilda.
Tak kehilangan akal,
Hilda kemudian mengoleskan warna emas di wajah lukisan pria bersayap berkuda
gagah itu. “Inilah wajah ayahmu. Dan Ibu harap kau tak bertanya lagi dengan
warna apa harus mengoles wajah ayahmu.”
Herma, perempuan kencur itu, tak puas. Sejak usianya mengelopak
dan nyala sepuluh lilin di kue ulang tahunnya berkilau-kilau, dia memang
berusaha menyangkal setiap cerita aneh tentang ayahnya. Karena itu, dia pun
memprotes lukisan Hilda. “Itu bukan wajah, Ibu. Teman-temanku pun akan bilang,
’itu lukisan pria bertopeng!’ Bagaimana kalau wajah Ayah kuanggap berwarna
biru?” desis Herma seraya menggambar kuda perkasa yang ditunggangi dua
perempuan bersayap dan seorang laki-laki berwajah biru.
Hilda tercengang.
Kilau matanya melesat ke tubuh dua perempuan kuning gading yang melamun di
punggung kuda yang tengah meringkik di atas buku gambar. “Apakah kedua
perempuan itu: aku dan Mama Leli?” Hilda mendesah tak keruan.
Herma mengangguk.
“Mengapa seperti
orang-orang bodoh yang suka melamun?”
“Karena Ibu dan Mama
Leli memang suka melamun. Tetapi sudahlah, Ibu tak perlu bertanya tentang mata
kosong dua perempuan itu. Aku hanya butuh persetujuan Ibu untuk mengoles wajah
Ayah dengan warna biru,” sergah Herma.
Hilda menghela
napas. “Ibu harus bilang apalagi? Yang jelas, kau atau aku tak bisa mereka-reka
sesuatu dari kehampaan 2), Herma.”
Herma pusing
mendengar kata-kata ibunya yang meluncur seperti bola biliar yang disodok
dengan kecepatan penuh. Meski demikian, sekali lagi Herma merasa perlu mendesak
Hilda agar mengizinkan dirinya mengoles wajah sang ayah dengan warna biru.
“Kalau tak diizinkan, aku akan minta Mama Leli mencipratkan warna hitam ke
seluruh wajah Ayah,” kata Herma ketus.
Mendengar
letupan-letupan suara Herma yang bagai mercon cabai rawit, habislah kesabaran
Hilda. Sambil memelototkan mata, perempuan beranting-anting warna magenta itu
mencerocoskan sumpah serapah, “Dengar, Herma… mulai sekarang kau harus mengerti
siapa ayahmu. Dia tak lebih dari kelelawar busuk yang suka bersembunyi bersama
kelelawar busuk lain di dalam gua.”
“Kelelawar busuk?
Bersembunyi di dalam gua? Buat apa Ayah bersembunyi di dalam gua? Aku tak
mengerti maksud Ibu,” ringkik Herma, setengah berteriak sehingga suaranya
menenggelamkan dengung musik Der Mond Im Wassertropfen 3) yang mengalun dari
kamar lain.
O, tidak mungkin
Hilda menjawab pertanyaan Herma dengan jujur. Karena itu, sambil terus-menerus
menata meja belajar Herma yang memang berantakan dia hanya mendesah dalam hati,
“Kenyataannya begini, anakku, pada musim yang busuk, Ibu memergoki ayahmu
mengendarai mobil ke tenggara kota bersama perempuan lain. Asal kau tahu,
melewati jalan penuh pinus yang berkelok-kelok, mereka berhenti di halaman luas
sebuah gua saat senja melabrak sekujur bebatuan yang melumut. Tak banyak yang
mereka percakapkan. Mereka hanya bergandengan tangan, saling memeluk, dan
menuruni undak-undakan yang menghubungkan dunia luar penuh kicau burung dan
dunia gua sarat kelelawar, kercik sungai, dan tumbuh-tumbuhan hijau yang
menjalar bagai ular.”
Merasa
pertanyaan-pertanyaannya tak digubris, Herma merajuk. Dia cium kening ibunya
dan mulai melontarkan rayuan yang mematikan, “Ayolah, Ibu. Kalau Ibu masih mau
bercerita tentang Ayah, aku mau belajar terus. Aku mau membantu Ibu di dapur,
memasak sup, menggoreng telor mata sapi, dan….”
Hilda tetap
bergeming. Dalam hentakan kendang Banjar Gruppe Berlin yang kian mencekik,
pandangan matanya menerawang ke jendela. Dalam pikiran yang kian kalut, dia
melolong-lolong lagi, “O, seandainya kau tahu apa yang dilakukan ayahmu dan
perempuan itu, Herma. Seandainya dari kejauhan dan semak-semak yang rimbun kau
bisa menyaksikan sepasang kekasih menuntaskan kasmaran yang menggelora di
keremangan gua, kau akan memahami mengapa Ibu menganggap ayahmu tak lebih dari
seekor kelelawar yang tak sanggup menyembunyikan kebusukannya.”
Sekali lagi Hilda
menghela napas. “Tetapi, tidak! Tidak! Dalam pandangan yang samar, kulihat mata
ayahmu begitu tulus mencintai perempuan itu. Dan untuk cinta, tak ada kelelawar
yang busuk, tak ada sunyi yang berkhianat, tak ada lumut yang meracun sukma.
Maka, kurelakan mereka merahasiakan cinta yang kusangka busuk itu. Kurelakan
mereka mereguk lendir cinta di kegelapan gua yang senantiasa dialiri oleh wangi
kercik sungai itu.”
Dan, karena
kata-kata itu tak pernah membuncah dari bibir Hilda yang senantiasa dioles
lipstik ungu, Herma menganggap Hilda tak bisa lagi diajak bercakap tentang
ayahnya. Sampai saat itu, sampai Paul di compact disk melengkingkan desah,
menatah kesengsaraan dunia…, Herma mengira kuda gagah itu menjelma putri cantik
dan dengan mulutnya yang menganga melebihi lubang gua, dia mengisap sang ayah
tanpa sisa. “Ayah hanya tersesat. Suatu saat dia pasti kembali, Ibu.”
Suara Herma yang
mencericit tanpa diduga itu membuat Hilda putus asa. Dan, itu menimbulkan
energi dahsyat yang menyebabkan Hilda bergegas merapikan tempat tidur Herma dan
menjawab segala pertanyaan anaknya dengan jawaban yang asal kena. “Baiklah,
Herma… kau boleh mengoles wajah ayahmu dengan warna apa saja. Mau kuning,
hijau, ungu, atau biru, Ibu tak akan mempermasalahkan lagi. Sekarang tidurlah!
Tidurlah, agar kau bisa bangun pagi dan lebih awal bermain-main dengan
teman-temanmu di sekolah.”
Lalu percakapan pun
terkunci. Diiringi lengking suara-suara aneh dalam Incantation yang melarat-larat,
Herma pura-pura tidur sambil memeluk guling bergambar Harry Potter, sedangkan
Hilda bergegas memasuki kamarnya sendiri, memasuki dunia sunyi bersama Leli.
“Herma mulai mempertanyakan ayahnya, Leli. Dia menyangka kita tak akan mampu
menatah kehidupannya dengan segala peluk dan penghiburan.”
Leli tak menjawab.
Teriakan-teriakan para pemusik dalam nada aneh dan asap rokok dari bibirnya
yang merekah lebih menenggelamkan sukmanya ke negeri yang jauh, ke gua purba
yang tak teraba oleh kesedihan yang paling perih sekalipun.
Namun, Leli dan
Hilda keliru besar jika menganggap Herma sudah mengembara ke alam mimpi. Sambil
menggigit ujung bantal, dia masih mereka-reka warna ganjil wajah ayahnya.
“Jangan-jangan wajah Ayah memang tak bewarna biru,” pikir Herma, “Jangan-jangan
Ayah memang selalu mengenakan topeng kuning keemasan?”
Karena pikirannya
senantiasa mendengung-dengung di kamarnya yang bercat biru, dia tak menemukan
jawaban memuaskan.
Meski demikian, dia
tetap mereka-reka wajah ayahnya hingga ingatannya melenting-lenting ke
percakapan-percakapan seru bersama Niko di kolam belakang sekolah beberapa hari
lalu.
“Niko, mengapa kau
olesi wajah ayahmu dengan warna merah?” tanya Herma saat itu.
“Sebenarnya aku juga
kesulitan menggambar wajah ayahku, Herma. Dia pergi sebelum aku bangun tidur
dan pulang setelah aku nyaris terlelap. Yang jelas-jelas kutahu, setiap malam
dengan tubuh sempoyongan, ayah menggoyang-goyangkan wajahnya yang selalu
memerah.”
“Dan, mengapa
wajahnya kaugambar seperti harimau?”
“Dengan suara
menggelegar, dia selalu menjambak rambut ibuku. Setelah ibuku menangis
sesenggukan, dia merokok di sudut ruangan sambil terus-menerus menenggak
minuman langsung dari botol. Wajahnya terus memerah dan menyeringai seperti
harimau, Herma. Dan, itu membuatku ketakutan setengah mati.”
“Ibumu tidak
melawan?”
Niko menggeleng.
“Ayahmu suka
mengajak kau bermain sepak bola?”
“Ya, dia juga
mengajariku berkelahi, mengajakku menembak tikus di selokan-selokan, dan
menendang anjing yang sedang menjilat-jilat kepala anaknya.”
Saat itu ingatan
Herma melenting-lenting ke wajah Leli. Leli juga suka merokok dan menenggak
minuman langsung dari botol. Perempuan gagah itu juga kerap mengajarinya
menendang bola keras-keras.
“Mama Leli juga
kerap mengajak aku dan Ibu berburu celeng ke tenggara kota. Malah kami juga
sering diajak menembak dan mengacak-acak sarang kelelawar di gua-gua yang
gelap.”
“Kamu tidak takut?”
Herma menggeleng.
Gelengan itu di luar dugaan bisa menggigilkan Niko dan membuat bocah cilik itu
tiba-tiba berdiri, meninggalkan Herma yang masih tafakur memandang gelombang
transversal yang melingkar-lingkar di kebiruan kolam. “Aku benci Ibu. Aku benci
Mama Leli. Mereka membuat teman-temanku takut bermain-main denganku,” pikir
Herma.
Dan, pikiran-pikiran
berbahaya itu terus-menerus melenting-lenting di kamar malam itu dan kian
membuat Herma tak bisa memicingkan mata. “Ibu pasti masih menyimpan wajah Ayah
di album keluarga. Aku harus mencarinya,” desah Herma.
Lalu perempuan
kencur itu pun berjingkat-jingkat ke ruang tamu. Karena takut kepergok, dia
mengintip apa yang tengah dilakukan Hilda dan Leli dari lubang kunci.
“Jangan-jangan mereka belum tidur?”
Dan, benar… Hilda
dan Leli memang belum tidur. Mereka tengah berpelukan. Berpelukan? Ya, tetapi
dalam pandangan yang samar, Herma seperti melihat kedua perempuan itu saling
menggigit. Dia kasihan kepada Hilda karena tampaknya Leli terus-menerus
menjambak rambut ibunya.
“Mengapa ibuku tak
melawan? Mengapa wajah Ibu berbinar-binar? Mengapa mereka malah tertawa
cekikan?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu hanya melenting-lenting di kepala Herma. Karena takut kepergok, dia
bergegas mencari album keluarga.
“Ini dia!” desis
Herma sambil setengah berlari ke kamarnya, “Tetapi, kenapa tak satu pun potret
Ayah terpasang di album ini?”
Cukup lama Herma
membolak-balik album itu. Yang dia lihat hanya Hilda dan Mama Leli yang
terus-menerus berpelukan di sembarang tempat di sembarang waktu. Kadang-kadang
mereka tertawa-tawa di jalan-jalan sambil menggandeng dirinya. Ada pula foto
Leli memanggul senapan sambil menyeret bangkai celeng.
“Jangan-jangan wajah
Ayah disembunyikan Ibu di dalam gua,” pikir Herma.
Karena itu, dia pun
mencari foto-foto yang mengabadikan keindahan gua-gua di tenggara kota. Tak ada
sepotong wajah lelaki terpampang di album warna pink itu. Sayang sekali, di
tengah-tengah kesuntukan mencari wajah ayahnya yang mungkin tersembunyi di
dalam gua, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. “Kau belum tidur, Herma?
Kalau tak tidur, Pangeran Kelelawar 4) akan mencekikmu!” suara Leli menggelegar.
Herma tak menjawab.
Dia hanya mendengarkan suara kercik shower membelah keheningan malam. Kercik
yang senantiasa dia dengar setelah Hilda dan Leli mendesah-desah tak keruan
sambil mendengarkan lagu-lagu mistis yang dinyanyikan Paul Gutama, Deep Forest,
atau Sarah Brightman.
HARI itu Herma tak
ingin masuk sekolah. Leli sebagaimana biasa telah berangkat ke kantor
mengendarai jip merah yang suara knalpotnya melengking-lengking sehingga
menyebabkan sayap-sayap burung kenari yang dipelihara di teras rumah
seakan-akan rontok. Hilda belum bangun. Biasanya, sebentar lagi dia bangkit
dari ranjang, menyalakan tape recorder, bersenam, dan setelah itu mengetuk
kamar Herma keras-keras.
Karena tak ingin
didera suara-suara yang sangat dibenci, kali ini Herma bergegas menyusup ke
kamar ibunya. Tahu ada yang berjingkat-jingkat ke ranjang, Hilda mendadak
membenahi selimutnya. Rupa-rupanya dia masih telanjang. “Pukul berapa, Herma?”
Herma tak menjawab.
Jari telunjuknya yang mungil menunjuk jarum jam dinding warna merah jambu yang
telah menunjuk ke angka delapan dan dua belas.
“Ya, Tuhan, mengapa
tak kau bangungkan Ibu? Mengapa tak meminta Mama Leli mengantar ke sekolah?”
kata Hilda sambil melilitkan selimut hingga ke bahu.
“Aku tak ingin
membuat teman-temanku ketakutan melihat Mama Leli, Ibu.”
“Takut? Mengapa
harus takut?”
“Niko bilang wajah
Mama Leli seperti serigala.”
“Dan, kau yakin
wajah Mama Leli seperti serigala?”
Herma menggeleng.
“Syukurlah. Tetapi,
mengapa kau menggigil, Herma?”
“Aku mendengar suara
aneh dalam tidurku, Ibu.”
“Suara dalam tidur?
Suara siapa?”
“Mungkin Ayah.
Mungkin hantu. Ia muncul dari buku gambarku.”
“Ibu juga pernah
mendengar suara-suara semacam itu. Kau tahu apa yang terjadi setelah
suara-suara itu mengganggu tidur kita?”
Sekali lagi Herma menggeleng.
“Setelah itu Ibu
mendapat surat dari ayahmu,” Hilda berbohong.
“Aku juga akan
mendapat surat dari Ayah?”
“Ya, kau akan
membacanya sampai senja tiba, sampai kau bisa mengoles warna paling pas untuk
wajah dia di buku gambarmu. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Tunggulah sampai
Pak Pos mengetuk pintu.”
Tak ada cara lain
kecuali menipu Herma, pagi itu Hilda bergegas ke kantor pos. Dengan
merengek-rengek, dia meminta seorang pengantar surat agar bersedia mengirimkan
secarik surat dalam amplop biru ke Jalan Anyelir 205, ke rumah mungil yang dia
tempati bersama Herma dan Leli. “Dalam surat yang kusemprot parfum paling wangi
itu, aku telah menyertakan foto ayahnya. Katakan kepada anakku, surat itu
berasal dari ujung angin.”
“Ayahnya? Dari ujung
angin?” desah pengantar surat itu setengah bingung setengah takjub.
“Ya. Maaf… aku dan
ayah Herma telah bercerai dan kini tak kutahu di mana suamiku tinggal. Jadi,
katakan saja dari ujung angin atau kota yang jauh. Sampean tak keberatan
bukan?”
Pengantar surat itu
tercenung. Namun, dia sungguh-sungguh tak bisa menolak rengekan Hilda.
“Tolonglah… dia sangat merindukan ayahnya,” desah Hilda memelas.
Begitulah, saat
Hilda sibuk dengan dunia sayur-mayur di pasar, pengantar surat itu memacu
sepeda motornya ke Jalan Anyelir. Masih takjub menimang-nimang surat, dia
memencet bel di pagar bermotif daun-daun pisang yang menghijaukan rumah itu.
“Jalan Anyelir 205?
O, bukan, bukan. Seingatku aku harus memberikan surat ini ke rumah nomor 207
atau 209. Ah, mengapa aku tiba-tiba berubah menjadi pria pikun?” pikir
pengantar surat itu seraya menyesali kebimbangannya.
Namun, bel telah
berbunyi dan menyebabkan Herma berlari ke beranda. “Surat dari Ayah?” teriak
Herma kegirangan.
Tak ada jawaban.
Pengantar surat itu merasa telah melakukan kesalahan. Tak ingin keliru, dia
berharap bertemu Hilda atau siapa pun yang menitipkan surat beramplop biru yang
sangat harum itu.
“Ibumu ada di
rumah?”
Herma tak segera
menjawab.
“Maaf, apakah ibumu
ada di rumah?” desis pengantar surat itu sekali lagi.
“Ibuku?” lenguh
Herma dalam nada tercekik, “Ibu Hilda atau Mama Leli?”
Mendengar pertanyaan
balik Herma yang dia sangka kacau, pria berwajah keras itu kian bimbang
memberikan surat. “Tidak! Tidak! Mungkin aku salah alamat, Tuan Putri. Mungkin
tak seharusnya aku memencet bel di rumah ini. Aduh, lagi pula langit kian
mendung, aku harus segera mengantar surat-surat lain. Jadi, masuklah ke rumah
kembali. Tunggulah surat dari ayahmu besok, lusa, atau beberapa hari lagi….”
Herma hanya
menunduk. Hanya merasakan angin dari ujung angin berhenti berembus.
Lalu, sambil
menyaksikan pengantar surat itu melesat seperti pria bertopeng emas dengan
sayap di bahu menunggang kuda gagah ke tenggara kota, dia menggores-goreskan
jari telunjuknya ke tanah basah; membentuk wajah tanpa rupa, tanpa mata, tanpa
jiwa…. Apakah pengantar surat itu juga akan kehilangan wajahnya, Ibu?
Semarang, 2003
Catatan:
1) Penunggang Kuda dari Atas Angin adalah judul patung karya pematung G Sidharta.
2) Ungkapan penyair Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karya Antonio Skarmeta
3) Der Mond Im Wassertropfen adalah komposisi karya Paul Gutama yang dimainkan bersama Banjar Gruppe Berlin. Incantation adalah salah satu nomor magis lain yang juga mengesankan. Sayang compact disc pria asal Yogyakarta yang kini tinggal di Jerman itu tak beredar luas di Indonesia.
4) Pangeran Kelelawar adalah tokoh romantis pengisap darah yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen Bre Redana.
1) Penunggang Kuda dari Atas Angin adalah judul patung karya pematung G Sidharta.
2) Ungkapan penyair Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karya Antonio Skarmeta
3) Der Mond Im Wassertropfen adalah komposisi karya Paul Gutama yang dimainkan bersama Banjar Gruppe Berlin. Incantation adalah salah satu nomor magis lain yang juga mengesankan. Sayang compact disc pria asal Yogyakarta yang kini tinggal di Jerman itu tak beredar luas di Indonesia.
4) Pangeran Kelelawar adalah tokoh romantis pengisap darah yang kerap muncul dalam cerpen-cerpen Bre Redana.
Written by tukang kliping
7 Maret 2004 pada 11:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar