Lukisan Kematian
Karya : Andhy Kh
Di kampung kami ada
seorang pelukis yang unik. Dia hanya akan melukis wajah manusia yang telah
sampai pada ajalnya. Orang kampung kami menyebut lukisannya: lukisan kematian.
Ada juga yang menyebutnya: lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan
kenangan. Sedang aku lebih suka menyebutnya: lukisan misteri kematian.
Dua hari yang lalu,
seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki yang
sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen
tambahan yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil
yang ringsek sebab tertabrak truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping
lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum yang seolah-olah telah
memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.
Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu
datang kembali, mengambil lukisan yang dipesannya. Dia gembira sekali sebab di
dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa mudanya, laksana seorang
laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di samping
mobil dinasnya.
”Lukisan ini akan
menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian
suamiku,” katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.
”Lho, tapi Mas,
kok…….!” Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang
dilihatnya pada lukisan. ”Ini kok, mobilnya utuh?” Pelukis itu hanya diam.
”Saya kan memesan lukisan suami saya setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu,
mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya yang gagah itu,
benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.”
Dengan tenang,
pelukis itu menjawab. ”Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang
ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan
peristiwa kecelakaan itu, maka, mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri.
Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.”
”Apa cukup semudah
itu?”
”Coba saja!
Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan
pada peristiwa kecelakaan itu.”
Setelah menjauh dari
lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan.
Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti,
pelukis itu telah membuatnya tersenyum, tanda puas.
Dua hari berikutnya,
seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam
lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul
dipegangnya. Akunya, sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi
kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di
kamar mandi, sepulangnya dari sawah.
”Parmin, Ayah mau
mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya,”
pintanya.
Eh, setelah itu,
lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya,
Ayahnya telah tiada.
”Kenapa kamu mau
mengabadikan gambar ayahmu?” tanya si pelukis.
”Ayahku adalah
pahlawan dalam hidupku.”
”Ibumu?”
”Sejak kecil, aku
tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan,” katanya, lalu
pergi.
Beberapa hari
berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya
sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi
kenangan yang terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang
tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa yang bisa ia kerjakan, kepada
sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk sebuah
lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran
imajinasi yang bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia
mengerti apa yang diinginkan pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang,
ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka tampak merasakan kepuasan
tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.
Sebagai teman
sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi
kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang
kematian. Memang, setiap kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan
seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.
Suatu waktu, aku
berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar.
Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali.
Ada ruh di dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak
khayal kalau hanya dalam waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis
handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan, sampai lingkup antarkota.
Namanya banyak dikenal massa.
Sarjo. Begitu, aku
memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar.
Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu,
ia mulai berkecimpung dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia
belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang tua satu-satunya; ayahnya,
meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya, hanyalah
angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.
”Kenapa kamu tidak
melukis keindahan alam saja?”
”Aku tak suka
bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang
diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang
kepada-Nya.”
”Tapi, kamu malah
melukis wajah-wajah kematian?”
”Kenapa, emang?” Aku
diam.
”Kuabadikan ayah
dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah
dalam tubuhnya.”
Aku diam saja.
Terharu.
”Kamu tahu?”
tanyanya. Aku menggelengkan kepala. ”Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu
berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu,
pengganti pusara ayah di laut.”
Hampir, air mataku
copot dan meleleh dari kebekuannya.
”Lalu bagaimana
dengan ibumu?”
”Aku tak pernah
mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak
jadah. Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud ’anak jadah’ itu. Akhirnya,
kukatakan kalau ibuku tak pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang
mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu, ada ibuku juga. Ibu yang
tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya aku
pun mendoakan ibu.”
Sebab tak tahan,
airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya
ayah.
”Mengapa kamu
menangis?” tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.
”Sudahlah. Aku telah
terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian. Alasannya
mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka,
mengingatkan mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah
atau sekadar mengirimkan surat Al Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik
lukisan.”
”Mulia sekali
niatmu.”
”Jangan memuji. Ini
tak lebih indah dari mengorek sampah.”
”Maksudmu?”
”Tak ada nilainya.|
Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.
”Banyak sekali
pesananmu sekarang?”
”Seperti yang kau
lihat.”
”Boleh, aku
melihatnya?” Dia mengangguk.
Lukisan-lukisan itu
kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman,
bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari
kejauhan, aku melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu
tepat ke jantungnya sendiri. Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia
membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah ’cinta gila’, di mana
perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk
pembuktian cintanya.
Lukisan kedua,
lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat.
Sebab, tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam
lukisan. Pikirku, segala misteri dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku
terlalu takut dan trauma.
Mendapati lukisan
lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah
dalam lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja
yang tampak terlalu putih, seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa
jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa lukisan yang pernah kulihat
sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu seperti
sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang
berlatar belakang laut. Apa artinya?
Kulihat sekeliling
ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan.
Keluar dari rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat.
Sepuluh menit aku sampai. Tak ada apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.
Aku menjadi khawatir
sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam
pikiran.
Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian
menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada
mayat. Kulitnya putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua
akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh, tidak…..!
Aku ingat sebuah
lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya.
Kuambil lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia
sering mengirimkan surat Al Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian,
akan menirunya.
Yogyakarta, 3 April
2011
Written by tukang kliping
21 Agustus 2011 pada 09:14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar