Pohon Hayat
Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita
perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon
itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.
Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon
itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun
kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap
jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat
dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik.
Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.
Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini
tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon
itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah
lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.
***
Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk
mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja
tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan.
Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya
sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak
terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam
kami sudah sampai.
Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung
mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh
di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek
menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.
”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,”
gumam nenek.
Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak
daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.
”Nek,” aku menjawil lengan nenek.
”Ya?”
”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini
adalah jasad orang-orang yang sudah mati?”
”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari
pohon kehidupan.”
”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun
kering itu?”
”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah
menyatu kembali dengan tanah.”
”Nek.”
”Ya?”
”Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau
dibakar saja.”
”Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke
muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning
yang ada di atas sana itu siapa?”
”Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di
kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”
”Apakah mereka akan segera gugur.”
”Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”
”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang
ada di atas sana, yang siap gugur itu?”
”Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang
pun berhak tahu.”
Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana
letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu.
”Nek.”
”Ya?”
”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu,
pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?”
”Ya. Benar, memang kenapa?”
”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun
muda yang bertengger di atas sana?”
”Ya. Tentu saja.”
”Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”
Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar
daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang
tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan
hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”
Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.
***
Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki
tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut
penyakit nenek dengan ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku
ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian
hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan.
Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya.
Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti
nenek juga melakukan hal yang sama.
Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah
tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan
nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun
kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku
berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika
sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin
ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas
sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu.
Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak
satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh,
bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba
angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang
di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi
dengan rahasia yang masih mengepul kepala.
Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan
lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”
Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning
yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.
***
Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa.
Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang
kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang
tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek
tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap
cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.
Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada
hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu
mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah
setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan
rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.
***
Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota
ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan
benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman,
bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami
ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu
petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota.
Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak
kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam
kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah
asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.
Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang
datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk
kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu
tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian
waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang,
mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi
bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang
hama? Entahlah.
***
Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak
sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah
jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi
rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke
mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian
setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan
ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar
biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa
dan pembunuhan merajalela.
Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah
terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di
alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang
perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.
Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah
menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu
sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.
”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga
ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu
yang terakhir yang sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh
satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan
tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam
perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.
”Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu
apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika
sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu
membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat
kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.
Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu
telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap
dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir,
telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan
seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa
kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai
peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu
merupakan azab. Entahlah.
Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya
kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku,
merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.
Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah
porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski
compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya
daun yang masih bertengger di sana.
”Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan
tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam
perkamen rahasia yang tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang
di telinga.
Written by tukang kliping
29 Januari 2012 pada 06:48
Ditulis dalam Cerpen
Tagged with Mashdar Zainal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar