Hotel
Keluarga di Tokyo
Aku duduk di ruang
tunggu menjelang boarding di Bandara Soekarno-Hatta ketika waktu hampir
melewati tengah malam. Terasa aneh karena hanya aku yang sudah tiba di sana,
padahal jadwal pesawat take-off tinggal beberapa menit lagi. Aku bertanya-tanya
dalam hati, jangan-jangan sesuatu telah terjadi yang tak kuketahui lalu jadwal
pesawat diundur. Namun ketika kuamati petugas di sana, tak tersirat ada
gangguan.
Tiba-tiba saja aku
menyesali kenapa terlalu cepat tiba di situ. Seharusnya aku buang waktu dulu di
koridor sambil melongok apa saja yang bisa kulihat. Ketika kuingat tak satu pun
toko-toko di situ yang masih buka ketika aku lewat tadi, aku merasa benar sudah
duduk di situ. Ya, tengah malam, banyak orang yang sudah terlelap. Akhirnya
kutelan juga kegelisahan sambil melahap berita malam di pesawat TV, siapa tahu
ada berita yang menjelaskan apa yang terjadi.
Aku sebenarnya tak menangkap benar apa yang diberitakan meski
mataku terpaku ke layar kaca. Yang kulihat adalah bayangan semu. Gambaran Kota
Tokyo yang kureka dari seluruh informasi yang telah kubaca berhari-hari dari
berbagai literatur. Aku sudah tahu bagaimana rupa Bandara Narita dari cerita
dan foto-foto yang kudapat dari internet. Aku juga sudah tahu bagaimana bentuk
Stasiun Tokyo yang sibuk, sebagai titik awal perjalananku di negeri itu.
Orang-orang Jepang yang gemar memakai setelan hitam-hitam ketika berangkat
kerja. Sambil jalan kuping mereka ditutup headphone yang mengalirkan musik,
entah apa, dari perangkat audio mini di sakunya. Mereka sukacita didikte mesin
hampir untuk melayani seluruh keinginannya.
Aku tersenyum geli
membayangkan cerita seseorang. Katanya, ketika ke toilet di negeri itu ia
kebingungan karena tempat buang air kecil berada tepat di depan jari kakinya.
Apakah ia harus pipis sambil jongkok? Namun ketika ia memencet satu tombol di
atasnya, pispotnya naik sendiri mencari posisi paling ideal sesuai dengan tinggi
badan dia. Alat yang pintar. Ia pun bisa pipis dengan tenang.
Lalu ia menambahkan
dengan cerita yang tak kupercayai. Katanya, ketika ia memencet tombol lain yang
berwarna merah, tiba-tiba saja ada alat semacam tangan yang muncul dari depan
dan dengan tidak sungkan meremas “punya” dia. “Itu tombol untuk perempuan yang
sedang datang bulan dan mau mengambil pembalut wanita yang dikiranya kupakai,”
ucapnya geli. Waktu mendengar cerita itu aku terpingkal-pingkal tak
tertahankan. Aku tahu itu cerita karangannya. Tetapi, saat ini aku
menduga-duga, jangan-jangan itu benar. Aku jadi ingin mencari dan mencobanya.
Tiba-tiba seorang
ibu melintas di hadapanku. Ia membungkuk sedikit untuk meminta izin lewat di
hadapanku karena kakiku yang selonjor menghalangi jalan. Ia duduk terhalang
satu kursi di samping kiri tempat dudukku. Aku meliriknya: seorang wanita
Jepang setengah baya. Tetapi, aku masih bisa menemukan kecantikannya. Tubuhnya
langsing, masih indah. Tak kuteruskan mereka-reka bagaimana masa mudanya.
Sesudah itu segerombolan
orang tiba. Mereka begitu membeludak bak air bah, seolah-olah mereka tadi
tertahan di pintu gerbang, lalu barusan seorang petugas memberi jalan. Berbagai
bahasa terdengar tak kupahami. Hanya aku dan beberapa orang saja yang orang
Indonesia. Kebanyakan orang Jepang yang mau pulang kampung. Mereka menyebar dan
mencari tempat duduk.
Seorang balita
mendadak berlari ke depan dan melintas di hadapanku. Lalu mengamati apa saja
yang dia suka. Ibunya membiarkannya. Ia tak terlalu sipit. Jepang. Laki-laki.
Si wanita Jepang di sampingku meliriknya. Ia tampak gemas kepada anak itu. Aku
menangkap senyum wanita itu. Ia mencari sesuatu di tasnya, mengeluarkan
handphone-nya, lalu memencet serangkaian nomor.
“Anita, Ibu
membangunkanmu, ya?” Bahasa Indonesianya membuat aku meliriknya. Wanita Jepang
ini bisa berbahasa Indonesia dan begitu fasih. “Ibu meneleponmu karena ingat
Ivan. Dia sudah tidur?” Terdiam sebentar. Aku yakin ia sedang mendengar sahutan
dari seberang.
“Di sini ada anak
sebesar Ivan, besarnya sama dan mirip banget wajahnya. Dia di hadapan Ibu
sekarang. Makanya Ibu jadi ingat Ivan,” katanya lagi.
Ia mendengar sahutan
lagi dari seberang.
“Ibu lagi di ruang
tunggu, sebentar lagi boarding. Sudah, ya!”
Ia mengemasi telepon
selulernya. Aku melihat dengan sudut mata ia memasukkan handphone-nya ke dalam
tas tangan. Wanita ini tak membawa tas besar. Aku yakin bawaannya sudah masuk
bagasi pesawat.
Aku pindah duduk ke
samping kiri hingga tepat berada di sebelah kanannya.
“Bahasa Indonesia
Ibu baik sekali. Maaf tadi saya menguping.”
Aku tak menyangka
kalau dia tak terkejut.
“Saya bicara dengan
anak saya. Melihat anak itu jadi ingat cucu,” ujarnya dengan tata bahasa yang
bagus sambil menunjuk anak kecil dengan lirikan matanya. Senyumnya mengalir
tulus.
“Usia berapa?”
“Sebesar itu, dua
tahun.”
“Sedang
lucu-lucunya.”
“Ya.”
“Sudah lama tinggal
di Indonesia?”
“Hampir dua puluh
tahun. Suami saya orang Indonesia. Sekarang saya mau pulang dulu menengok
orangtua saya.”
“Kapan terakhir ke
Jepang?”
“Sudah lama sekali.
Saya sudah sulit membayangkannya.” Aku tahu ia bercanda.
“Saya malah sedang
membangun bayang-bayang Tokyo, Yokohama, Kawasaki, Toshiba, Osaka, Niigata,
Miyagi, Sapporo dari cerita orang…”
“Adik mau ke
kota-kota itu?”
“Ya. Cuma ada
problem. Saya belum mendapat hotel. Saya sudah mencoba registrasi melalui
internet. Tak satu pun berhasil. Semua penuh. Rupanya penonton Piala Dunia
sudah mem-booking- nya.” Aku ke Jepang memang untuk meliput Piala Dunia 2002.
Aku berangkat tepat sehari menjelang pembukaan kejuaraan empat tahunan itu.
“Saya kira banyak
hotel di sana.”
“Saya harap begitu.”
Pembicaraan kami
terpotong oleh suara petugas yang mengumumkan penumpang agar segera masuk
pesawat.
“Bagaimana Ibu bisa
menikah dengan pria Indonesia?” Aku memberanikan diri bertanya hal yang
pribadi. Aku sudah siap jika ia tersinggung.
Ia tersenyum. “Itu
pengalaman yang tak mungkin saya lupakan. Indah sekali,” katanya, lalu bangkit.
Para penumpang masuk
ke koridor yang menghubungkan ruang tunggu dengan pintu pesawat. Dimulai dari
keluarga si balita. Aku tak sempat mengikuti ibu tadi. Tak tahu juga namanya
dan mau ke mana. Seandainya saja aku bisa berbicara lebih lama, mungkin aku
bisa menemukan tempat untuk menginap. Siapa tahu ia bisa membantu.
Sayang, harapanku
untuk bisa duduk berdampingan di pesawat juga tak kesampaian. Aku mendapat
teman duduk seorang pria muda yang tak bisa diajak bicara. Ia hanya paham
bahasa Jepang. Aku menggerutu kenapa aku tak bisa berbahasa mereka, negeri yang
akan aku tuju.
Yang pertama kulihat
di Narita adalah persawahan. Hijau dan tampak indah dilihat dari jendela
pesawat. Sebuah mobil pick-up bergerak melingkar melewati jalan yang
ditempuhnya. Tak lama kemudian aku melihat hamparan rumput, landasan pesawat,
sebelum pesawat bergetar-getar ketika rodanya menyentuh landasan. Habislah masa
tujuh jam berada di angkasa. Pagi sudah mulai panas. Kulihat jam tangan masih
menunjukkan waktu pukul tujuh pagi. Waktu di Jepang berarti pukul sembilan.
Pantas panas. Apalagi ini di negara yang berjuluk Negeri Matahari Terbit.
Kami turun. Aku
mengikuti mereka dengan perasaan tak begitu yakin. Makin tak yakin ketika
mereka masuk ke dalam kereta dua gerbong yang pintunya membuka tepat di ujung
koridor. Tak ada pilihan selain aku mengikuti mereka. Ternyata itu shuttle bus
khusus untuk mengangkut penumpang ke ruang kedatangan di dalam Bandara
Internasional Narita.
Setelah melewati
bagian imigrasi barulah aku kebingungan. Dengan satu koper dan tas ransel penuh
tak mungkin leluasa mencari hotel. Aku duduk di sofa. Segerombolan suporter sepak
bola dengan atribut tim negara yang mereka bela memenuhi ruang kedatangan. Ada
perasaan ngeri juga, jangan-jangan timbul keributan di situ. Pantas hotel-hotel
penuh. Polisi tampak berjaga-jaga mengantisipasi kejadian buruk.
Aku membeli minuman,
sekaleng minuman yang pertama kubeli di Negeri Matahari Terbit. Aku juga
membeli kartu telepon untuk menghubungi hotel-hotel yang ada dalam daftarku
dari telepon umum. Sayang usahaku sia-sia. Aku tak berhasil mendapatkan kamar
kosong. Akhirnya aku mendorong bawaanku ke sudut hanya untuk membunuh
kekesalanku.
Aku melihat
segerombolan orang di ruang sempit yang terbuat dari kaca di sudut. Ukurannya
sekitar lima kali lima meter persegi. Rupanya itu ruangan khusus bagi perokok.
Jepang memang tak mengizinkan para perokok mengepulkan asap tembakau di
sembarang tempat. Semua orang di ruangan itu begitu tergesa-gesa mengisap rokok
dan tak satu pun mau menyisakan tembakau sebelum api menyentuh filternya.
Seusai mengumpulkan
informasi dan menghitung biayanya aku putuskan untuk menitipkan koporku di
tempat penitipan. Sedangkan ransel kubawa. Aku harus pergi ke Tokyo mencari
hotel. Tak bisa lagi mengandalkan telepon. Jika sudah dapat hotel, kopor
kuambil. Di Jepang tak kukhawatirkan kopor akan hilang. Aku percaya saja tak akan
ada orang Jepang yang akan mencuri dan menipuku.
Perjalanan dari
Narita ke Stasiun Tokyo sekitar satu jam. Tak terlalu jauh.
Aku berhenti di
Stasiun Tokyo. Ini dia stasiun paling sibuk di dunia. Aku mengaguminya. Stasiun
yang hebat. Terdiri dari beberapa tingkat ke bawah dan ke atas dari permukaan
tanah. Menurut data, ada 3.000 rangkaian kereta setiap hari diberangkatkan dari
stasiun ini. Berarti tiap setengah menit ada saja kereta lewat. Benar-benar
sibuk. Aku menikmati kesibukan itu dengan perasaan bangga. Siapa sangka aku
bisa mengunjungi kota termahal di dunia ini.
Di Stasiun Tokyo tak
terasa sedang berada di stasiun. Banyak pertokoan, restoran, kafe, toko buku,
perhiasan, pakaian, makanan ringan, pernik-pernik, dan juga keramaian orang
yang berbelanja. Lebih mirip mal. Di sebuah kedai koran aku membeli koran lokal
berbahasa Inggris, The Herald Tribune. Aku juga membeli makanan dan minuman.
Belum makan siang. Aku memakannya sambil menikmati orang-orang yang lalu
lalang. Setelah puas baru mencari jalan keluar.
Aku sampai
berputar-putar dulu sebelum menemukan pintu gerbang. Luas dan banyak
persimpangan. Akhirnya sampai juga di sisi barat. Tujuan utamaku mencari Kantor
Pariwisata Tokyo. Katanya di situ aku bisa membeli Japan Rail Pass yang bisa
kugunakan naik kereta untuk waktu sebulan. Ya, semacam membeli abonemen. Dengan
pass itu biaya transportasi jadi lebih efisien.
Aku menyeberang
jalan menuju Kantor Pos Tokyo. Kepada polisi kutanyakan letak kantor yang
kumaksud sambil kusodorkan peta. Gedung yang kucari adalah Shin-Marunouchi
Building tempat di mana kantor itu berada. Lucu juga karena ia bahkan tak bisa
membaca peta dengan tulisan Latin. Ia membolak-balik peta itu seperti buta
huruf. Ia juga tak paham bahasa Inggris. Percuma saja memaksa dia. Akhirnya kucari
sendiri sambil merujuk pada nama-nama jalan yang tertera di setiap sudut jalan.
Masih untung Pemerintah Jepang masih mau menyisipkan nama jalan dengan huruf
Latin di antara huruf kanji.
Aku menemukan gedung
itu setelah berbelok ke sebelah kanan dari kantor pos. Lalu menyeberang jalan
besar tepat di depan taman kecil Stasiun Tokyo. Aku sudah dua kali melewatinya.
Dua kali juga aku menanyakan apa benar di sana kantor yang kucari. Tak satu pun
orang yang tahu. Ah, apakah pembuat peta itu salah menuliskannya.
Karena penasaran,
aku masuk juga ke gedung itu. Orang pertama yang ada di situ langsung kutanya.
Syukurlah ia menunjukkan apa yang kucari. Kantor pariwisata itu ada di samping
koridor tepat menghadap jalan yang kulewati tadi. Malah persis menghadap Stasiun
Tokyo. Ada banyak brosur wisata di situ. Ada juga brosur-brosur hotel untuk
wilayah Tokyo. Aku mengambil satu brosur gratis sebelum menghadap seorang
petugas.
Seorang staf
pariwisata yang menerimaku membungkukkan badan sambil menanyakan apa maksudku. Khas
orang Jepang.
“Saya mau membeli
Japan Rail Pass. Benarkah bisa dibeli di sini?” tanyaku.
“Iya benar,”
sahutnya dengan bahasa Inggris yang aneh kudengar. “Anda mau membeli untuk yang
dua minggu atau sebulan?”
“Boleh saya tahu
harga-harganya?”
Ia menyodorkannya.
Lalu kupilih yang sebulan. Harganya cocok dengan harga yang ada dalam daftarku.
Ia meminta namaku, negara asalku, dan meminjam paspor. Kuberikan yang ia minta.
Sambil menunggu aku
membaca brosur hotel-hotel itu. Kucari hotel yang paling strategis dengan harga
yang bisa kujangkau. Aku melingkari sekitar sepuluh hotel yang akan kujajaki.
Setelah memiliki
pass aku kembali masuk Stasiun Tokyo. Yang kutuju sekarang stasiun kedua dari
Stasiun Tokyo, Akihabara. Pertimbanganku, hotel yang dekat Stasiun Tokyo
peluang kosongnya kecil dan harganya sudah pasti selangit. Di pintu masuk
seorang petugas langsung memberi jalan begitu aku menunjukkan pass itu.
Sedangkan penumpang lain harus memasukkan tiket ke mesin penera hanya sekadar
untuk membukakan palang pintu. Setelah menanyakan kepada petugas itu, aku naik
tangga berjalan menuju jalur kereta yang akan membawaku ke sana.
Enaknya di Tokyo aku
hampir tak harus menunggu, kereta yang dimaksud segera tiba. Aku naik dan tak
sampai lima menit sudah tiba di Akihabara. Ada tiga hotel yang kucari di
wilayah itu. Coba, apa yang aku temukan? Tak satu pun hotel yang masih
menyisakan kamar kosong. Aku mengutuk penyelenggara Piala Dunia di Jepang yang
sudah menggembar-gemborkan semua fasilitas akan memudahkan pendatang.
Karena waktu sudah
hampir pukul empat, aku harus kembali ke Narita mengambil kopor. Jika
kubiarkan, jangan-jangan koporku diangkut petugas yang entah ke mana. Atau
disangka isinya ada benda-benda terlarang, lalu berurusan dengan pihak berwajib
Nippon.
Perlu tiga jam untuk
mengambil kopor itu hingga kembali ke Stasiun Tokyo. Kini aku tiba di stasiun
pusat Kota Tokyo lagi untuk ketiga kalinya dalam sehari ini. Tetapi, sekarang
dengan bawaan lebih banyak. Sudah pasti repot. Terlebih-lebih sudah tiba pula
saat para pekerja di Tokyo pulang kantor. Kereta lebih padat penumpangnya.
Berdesak-desakan. Inilah kesibukan khas Tokyo.
Hari sudah gelap.
Aku belum juga mendapatkan hotel. Sudah kusiapkan mental jika sampai harus
tidur di stasiun. Bukan putus asa, tetapi kemungkinan terburuk itu harus aku
ambil. Aku terdiam sejenak sambil memeluk ransel. Setelah setengah jam
menimbang-nimbang aku berangkat lagi menuju utara. Aku pikir ke arah ini lebih
banyak peluangnya mendapat hotel ketimbang arah selatan. Hanya feeling saja.
Aku berhenti di
stasiun ketiga dari Stasiun Tokyo. Namanya baru aku ketahui ketika sudah keluar
stasiun: Okachimachi. Tepat di bawah stasiun itu ada restoran McDonald’s. Aku
membeli burger dan menyantapnya amat lahap. Ketika pelayannya kutanya soal
hotel, mereka menggeleng. Ini dia awal petakaku, pikirku. Aku sudah siap
menggelandang.
Keluar dari
McDonald’s menjelang pukul sembilan malam. Aku berjalan menuju jalan kecil yang
sembarang kutempuh. Seorang wanita muda memakai topi dan rok pendek merah
memanggilku menawari sesuatu. Aku tak mengerti apa yang ia tawarkan. Kuhampiri
dia dan kutanyakan di mana hotel di sekitar itu. Ia menggeleng. Kutunjuk sebuah
gedung yang mirip hotel di hadapanku. Gedung itu sudah kulihat dari jauh dan
aku menduganya hotel yang akan menampungku.
Dia tersenyum.
Katanya itu gedung perkantoran. Akhirnya aku jalan terus. Jalan masih penuh
lalu-lalang orang- orang bersetelan hitam-hitam. Aneh juga melihat mereka masih
gentayangan dengan pakaian necis seperti itu. Mereka inilah para pekerja
kantoran Jepang yang pulang kerja. Biasanya mereka menghabiskan waktu di kafe
atau pub-pub sampai tengah malam. Aku tak peduli.
Di lampu merah aku
terhenti. Kuamati gedung-gedung tinggi, dari situ siapa tahu aku menemukan
tulisan “hotel” menempel di temboknya. Tak ada. Aku mundur sambil menarik
kopor. Maksudku, aku mau duduk di tembok restoran yang tepat berada di
belakangku karena badan sudah pegal. Sekilas aku menangkap restoran itu penuh.
Dan ketika aku melihat nama restorannya yang ada di pinggir kanan, aku seperti
disiram air: Green New Hotel. Benar-benar membuat hatiku hijau.
Tak kusia-siakan,
aku segera masuk. Kuhampiri front office-nya dan kuminta kamar kosong. Lalu apa
jawabannya? “Maaf, semua kamar sudah terisi,” ujar seorang staf wanita muda.
Aku lemas dan kulempar tubuhku ke sofa. Dua tiga tamu masuk membawa kopor.
Registrasinya lancar. Aku merasa dibohongi dan kukira ia rasialis karena aku
dari Indonesia. Aku bangkit lalu memprotesnya. Katanya, mereka sudah
mem-booking jauh-jauh hari.
“Sama sekali tak ada
kamar sisa? Dapur juga boleh.”
“Kami mohon maaf.”
“Boleh saya tidur di
sini?” tanyaku sambil menunjuk sofa yang tadi kududuki. Frustrasi rasanya.
“Saya sudah seharian mencari hotel dan semuanya sia-sia.”
“Maaf.”
Aku biarkan badanku
jatuh ke sofa, tak ada tenaga lagi rasanya. Lemas. Entah siapa yang harus
kumaki. Setelah hampir seperempat jam dan mataku nyaris terpejam, staf itu
memanggilku.
“Pak,” katanya,
“Anda merokok?”
Aku menggeleng. Aku
pikir, aku boleh tidur di sofa asal tak merokok.
“Sayang sekali,”
katanya. Aku dongkol mendengarnya. “Ada satu kamar double, tetapi untuk
perokok.”
Aku meloncat girang.
“Tak apa-apa.”
“Harganya untuk
double.”
“Tak apa-apa”
“Kami kasih diskon
30 persen, tetapi untuk malam ini saja.”
“Tak apa-apa.” Aku
melonjak. Ingin rasanya memeluk wanita itu saking girangnya.
Aku disuruh
memasukkan uang 10.000 yen ke dalam vending machine di sudut. Lalu memencet
angka 8.500. Beberapa detik kemudian, kembaliannya keluar dari bawah. Lalu
muncul juga kartu hotel untuk membuka kunci kamar dengan namaku sudah tercantum
di situ. Hilanglah kelelahanku. Aku mendorong bawaanku, naik lift, lalu
kudapatkan kamar yang dimaksud. Kubuka. Ada dua tempat tidur di situ dengan
seprei putih. Sebuah pesawat televisi. Sebuah brosur. Sebuah asbak. Sebuah
korek api.
Kopor dan ransel
kutidurkan di dipan yang satu, seolah keduanya makhluk bernyawa. Aku sendiri
meloncat ke tempat tidur satunya lagi. Kelelahanku langsung terserap oleh
kasurnya. Lalu bangkit lagi dan memeriksa kamar mandi. Aku ingat sesuatu dan
kemudian keluar. Kuhampiri vending machine di sudut lorong dan kumasukkan uang
logam yen sesuai angka-angka dalam petunjuk untuk membeli minuman, kacang, dan,
meski aku tak merokok, sebungkus rokok putih.
Aku kembali ke
kamar. Siapkan air hangat, buka pakaian, lalu berendam sambil merokok. Alangkah
indahnya Tokyo. Untuk hari ini aku selamat.
Besoknya, pukul 8
pagi aku sudah keluar hotel. Sebelum pukul 10 aku harus sudah menemukan hotel
baru karena itulah waktu check-out. Pukul 11 aku harus registrasi di Media
Center di Yokohama untuk mendapat ID sambil membuat laporan awal untuk dikirim
ke Jakarta. Aku pergi ke utara lagi dan turun di Stasiun Ueno.
Ada dua hotel yang
kudapat alamatnya subuh tadi. Yang pertama langsung menolakku karena penuh.
Yang satunya lagi hotel kecil, tetapi asri. Aku masuk dari pintu belakang
karena kebetulan jalan itulah yang lebih dulu kutemui dan lorongnya
membimbingku ke front-office. Ada banyak foto yang tergantung di dinding. Aku
terpesona dengan foto-foto di bawah lampu. Yang menarik perhatianku, ada banyak
kata-kata dalam Bahasa Indonesia di latar belakang foto-foto itu. Ini sudah
mengejutkanku. Rasanya aku seperti disambut. Sedangkan yang difoto dua remaja
zaman dulu yang ceria. Seorang wanita Jepang berparas cantik. Lelakinya
bertubuh sedang dengan wajah biasa saja, namun berwibawa. Remaja laki-laki itu
mengibarkan bendera merah-putih kecil sambil memeluk pinggang si wanita. Aku
menemukan cinta dari pancaran wajah mereka. Aku amati foto- foto itu dengan
takjub. Entah apa artinya foto-foto itu dipasang di situ. Ternyata jauh dari
Tanah Air, ada warga Jepang yang bangga memasang atribut Indonesia. Aku
mengelus dadaku, jangan-jangan aku merasa kecil karena berasal dari Indonesia.
“Itu foto-foto
kami,” satu suara mengagetkanku. Aku kaget karena lamunanku terpecah. Aku kaget
karena suara wanita itu begitu fasih menggunakan bahasa Indonesia padahal aku
sedang berada di Tokyo. Aku makin kaget karena yang kulihat adalah wanita
Jepang yang kusapa di Bandara Soekarno-Hatta kemarin. “Silakan masuk. Ini hotel
keluarga milik ayah saya,” sapanya. Aku nyaris tak bisa bergerak.
Tokyo, 2002
Written by tukang kliping
4 Juli 2004 pada 10:04