Ketika Pohon Itu Masih Mekar
Karya : Doni Jaya
Perempuan berkebaya encim berwarna hijau itu menoleh
kepadaku dari kursi anyaman plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak sekali
bahwa kedatanganku telah mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua yang
tumbuh di halaman lapang.
Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri
adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas
pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik
berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya.
Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup
kontras.
Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini.
Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau
kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang
melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa
silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah,
hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar
mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat
renovasi rumah lama.
”Eh, kau sudah datang,” kata perempuan
itu sambil bangkit dengan tergopoh-gopoh dan memegang tanganku.
”Iya, Ma. Mama sehat kan?”
Badannya yang bungkuk berusaha ditegakkannya, seakan
berusaha untuk tetap terlihat muda dan penuh perhatian terhadap anak-anaknya.
Tatapan matanya yang tajam menyaratkan penolakan yang gigih terhadap satu
fakta: bahwa kini akulah—dan kedelapan saudaraku yang lain—yang kini ganti
wajib merawat dan mengunjunginya.
Pertanyaanku yang tadi tidak dijawab, dan ia segera
membalikkan tubuhnya. Langkahnya terhenti di depan pohon cincau tua. Ia
tertegun.
Baru kusadari betapa pohon itu terlihat jauh lebih
kurus dan gundul daripada sebelumnya. Apa tahun lalu sudah seperti ini? Dua
tahun lalu? Tiga? Walaupun setiap tahun kemari, kuakui aku tidak pernah
memerhatikannya secara khusus, seperti saat ini.
Tapi kenapa?
Apa jangan-jangan Mama telah mencabut terlalu banyak
cincau untuk dibuat jeli? Tapi itu tidak mungkin, sebab tumbuhan itu telah
bertahan selama ini. Pucuk-pucuk itu telah dicabuti dan diremas-remas dan
diramu menjadi eliksir kehidupan, namun selalu saja tumbuh lebih lebat dari
sebelumnya. Terkadang bahkan harus ditebangi supaya tidak melintang pagar ke
kebun tetangga. Butuh lebih dari sekadar penggundulan terencana untuk mematikan
tumbuhan ini.
”Ma, pohonnya makin kurus kok.”
”Iya. Mungkin karena sering dicabuti orang kampung.
Biasa, buat jualan.”
”Lho, kenapa Mama tak larang mereka? Abang Sardi saja
biasa beli dari Mama sekarung sepuluh ribu.”
”Itu kan dulu. Sekarang hidup makin susah. Bahan baku
jajanan makin mahal, dan orang-orang makin nekat buat mendapat sesuatu
semurah-murahnya. Lagi pula, pohon cincau kita ini satu-satunya di tanah ini….”
Mama terbengong sekilas. Mendadak dia berjalan
mendekati pohon, berjinjit, dan menarik sehelai daun dari tangkainya. Ia
pandangi daun itu lekat- lekat, seperti sedang berusaha menemukan suatu cacat
pada permukaannya. Kemudian wajahnya menerawang ke atas, memandangi pohon itu
dari pucuk tertinggi hingga ke akar.
Ia membuat keputusan. Ia jatuhkan daun itu ke tanah.
Dan mendesah.
Sejurus perasaan takut menghinggapi diriku. Kupegang
dahan terbesar pohon itu, bertekad untuk menemukan ciri apa pun yang tidak
dimiliki tanaman yang hendak mati.
Ketika kutekan dahan itu perlahan, permukaan kulitnya
yang kasar menjadi retak. Kerkahan di antara sulur-sulur yang dulu kuat itu
mengeluarkan suara berkeriut yang mengerikan. Lapis demi lapis sulur pembelit
batang ternyata sudah renggang dan mulai terurai.
Kulepaskan cengkeramanku cepat- cepat, dan suatu
perasaan sayang dan keterikatan kuat yang belum pernah kurasakan sebelumnya
memenuhi benakku. Aku tidak pernah tahu bahwa ancaman hilangnya suatu hal
berharga yang belum pernah kusadari bisa begitu menyakitkan.
”Kenapa? Kamu juga rindu sama pohon cincau ini?” tanya
Mama dengan tepat, seakan kita baru saja memikirkan hal yang sama. Ia tidak
mengalihkan tatapannya dari pohon.
”Ya, Ma. Sayang sekali, padahal dulu batang-batang
ini… begitu kuat, tidak bakalan putus sekalipun dinaiki beramai-ramai. Mama
ingat tidak? Aku dan si Pin sering memanjat pohon ini….”
Kuhentikan ujaranku. Tanpa sadar, aku telah menyebut
nama kakak keduaku yang telah kabur ke negeri seberang, tiga belas tahun yang
lalu. Waktu itu, ia hanya meninggalkan rumah yang hangus dan sebuah mobil sedan
yang ringsek. Mama sangat merindukannya dan memohonnya untuk pulang, namun ia
bersumpah tidak akan pernah kembali ke negeri ini: istrinya telah menjadi mayat
legam. Korban kebencian buta yang sulit padam.
Ujaranku pasti telah membuka kembali luka lamanya.
Herannya, wajah Mama tidak berubah. Ia bahkan seperti mengabaikan ucapanku
barusan.
”Tapi… syukurlah pohon ini masih ada di sini ya, Ma.
Jangan sampai roboh nih, kenang-kenangan zaman dulu,” kataku mencoba memecah
kesunyian.
Lagi-lagi tanpa terkesan mendengarkan komentarku, Mama
berkata, ”Ayo masuk, makan cincau dulu. Mama sudah bikin buat kamu semua. Kamu
suka sekali cincau kan.”
Ah, cincau itu lagi. Minuman manis yang menyegarkan,
lagi sarat dengan khasiat ajaib yang sulit dijelaskan. Telah bertahun-tahun
makanan hijau itu menyejukkan kerongkongan kami yang kering, mendinginkan tubuh
yang panas dan kelelahan, memulihkan kerinduan yang tertahan.
Dan pohon itu adalah sumbernya. Daun-daunnya yang
tumbuh pada batang kelabu yang pernah kokoh itu telah memenuhi kebutuhan kami,
anak-anak Mama, selama masa kecil yang berlalu dengan cepat. Mamalah yang dulu
seminggu sekali menggerakkan jari-jarinya di sela rimbunnya daun cincau,
memilih daun yang terbaik untuk konsumsi anak-anaknya, untuk kemudian
dilumatkan dan diperas sarinya. Dengan sentuhan tangannya yang terampil, cincau
alami pun tersajilah; tidak, bukan cincau modern ala kota yang mulus lembut nan
kenyal—yang kabarnya telah dicampur sejenis bedak. Cincau Mama adalah struktur
kasar yang renyah dengan carikan kecil daun-daun hijau terlebur menjadi satu.
Tanda perjuangan dan ketetapan hati yang luar biasa. Buah tangan yang merengkuh
asa.
Bagiku, sajian itu telah melebar makna, menyatu dengan
pribadi Mama. Makanan bagi tubuh dan bagi jiwa.
”Ma, Ateng sudah datang belum?” kataku merujuk pada
adik lelakiku yang biasanya datang sehari sebelum hari raya.
Sejurus, Mama tidak menjawab. Tangannya masih sibuk
menuangkan potongan-potongan cincau ke dalam mangkuk. Kini ia menuang gula cair
hasil masak sendiri. Sempurna. Ia letakkan mangkuk itu di meja makan lebar yang
kini kosong.
”Belum,” jawabnya, ”Mungkin dia tidak datang tahun
ini. Tahu sendiri, dia lagi terbelit masalah sama pengadilan. Urusan begitu,
memang pasti berabe…. Dia sudah telepon Mama tadi pagi, kasih ucapan tahun
baru.”
Jadi begitu. Tahun ini berkurang satu kunjungan lagi.
Aku mulai menyeruput cincau segar itu dengan bernafsu.
Luar biasa, cita rasanya tidak pernah berubah. Benar- benar bukan sajian biasa,
ibarat memperbarui ikatan ragaku dengan kehidupan sejati yang mengisi segenap
nadi dan sendi-sendi tubuh….
Tiba-tiba, Mama berlalu keluar lagi. Kuletakkan
mangkuk itu dengan cepat ke atas meja, hingga menumpahkan cairan keruh pada
permukaannya yang berdebu. Aku tahu aku harus mengikutinya.
”Hai! Apa yang kalian lakukan?” teriak Mama sambil
menyeret badannya yang tertatih-tatih. Ternyata ia masih belum kehilangan
teriakan melengkingnya yang tersohor itu.
Sesampainya di luar, kulihat tiga orang bocah kecil
sedang berusaha memanjat dahan pohon cincau tua itu. Salah satunya, yang
bertampang paling bergajulan, bahkan sudah menggapai puncak pohon yang kini
tingginya tidak sampai tiga meter. Dengan santainya ia mencerabuti daun-daun
hijau ke bawah, bersiap untuk ditampung kawannya yang bertengger dengan asyik
di sebuah sulur sambil menenteng sebuah karung beras.
Bocah teratas lantas melompat dengan gesit ke tanah,
mematahkan sebuah dahan besar hingga jatuh ke tanah. Daun-daun rontok
bertebaran di antara debu tanah yang miskin air. Ia mulai berteriak-teriak
memberi perintah kepada rekan-rekan komplotannya dengan bahasa daerah yang
tidak pernah kumengerti. Mereka berlari melompati pagar rendah sambil menenteng
karung hasil rampasan mereka hari ini.
Belum tersadar dari kekagetanku, tiba-tiba kudapati
Mama terhuyung sesaat. Ia segera merambet lenganku untuk mencari tumpuan. Aku
membimbing Mama kembali ke kursi anyamnya.
”Akh, tak kusangka. Pohon itu makin habis!” seru Mama sambil
menepuk- nepukkan tangannya ke kepalanya.
”Mama, sudahlah. Sebentaran pasti tumbuh lagi…. Lagi
pula, anak-anak Mama kan sudah jarang di sini, jadinya kan tidak perlu
sering-sering bikin cincau.”
”Ya! Kalian memang sudah jarang di sini. si Pin sudah kabur,
si Mey sudah dibawa lari lelaki hidung belang itu, dan si Teng sekarang kena
masalah. Mama bahkan tidak tahu kenapa sisanya belum pada datang!” semburnya
kepadaku.
Binar di matanya tampak redup dan tangan-tangannya
yang kasar karena kerja keras seumur hidup mulai bergetar. Tampaknya, Mama
terlalu menganggap serius masalah pohon ini. Bagaimanapun, aku tetap berjongkok
di samping kursi, menemani Mama hingga tubuhnya pulih kembali. Namun aku tahu,
saat aku menatap matanya sekali-kali sambil memegang tangannya dan
membimbingnya menuju ke dalam rumah, bahwa sesuatu dari dalam dirinya telah
hilang, tercerabut selamanya.
***
Semenjak itu, pikiranku nyaris tidak pernah kembali ke
rumah tua dan pohon cincau setengah rubuh yang tumbuh di halamannya. Tidak,
ketika urusan pekerjaan, komitmen-komitmen, dan keluarga mengambil alih seluruh
jiwa ragaku—siapa pula yang peduli pada sebatang pohon di kampung halaman, yang
kini menjadi serpihan masa lalu yang memudar perlahan, laksana jiwa hampa yang
tanpa sadar terseret dalam kenihilan?
Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa pohon cincau itu
telah mati dan roboh untuk selamanya. Tidak, sebelum kudengar kabar bahwa Mama,
dalam usahanya untuk menyelamatkan tiap daun terakhir dari pohon cincau, telah
merengkuh batang pohon dan memanjat hingga dahannya yang tertinggi.
Tidak juga, sebelum akhirnya kudengar bahwa dahan
besar itu pun patah, dan Mama terjatuh ke tanah. Kepalanya terantuk batu yang
menonjol dari dalam tanah gersang, dan mengakhiri nyawanya.
Written by tukang kliping
13 Februari 2011 pada 21:05
Ditulis dalam Cerpen
Tagged with Doni Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar