Tanpa
Pelayat dan Mawar Duka
Karya : Martin Aleida
Ke mana pun dia
pergi, di benaknya terbayang sebuah lubang ancaman. Begitu besar dan
menakutkan, siap menelannya, menyusul tumbangnya raja tiranis yang berkuasa
lebih dari tiga puluh tahun. Dia sadar, di kalangan teman-teman, dia tak lebih
dari seonggok daging yang hanya pantas untuk dirajam. Sekalipun begitu, kalau
mati, dia menginginkan tempat yang pas untuk jasadnya.
Keinginan itu
memuncak ketika kadar gula dalam darahnya mencatat titik yang belum pernah
tercapai. Dia semakin sering merenung, dan serempak dengan semakin bertambah
ngilunya seluruh persendian tubuhnya semakin dia yakin bahwa maut sudah tak
bisa ditampik.
Sepetak tanah di kota kita, yang penuh-sesak dan berkembang
begini liar, bukanlah komoditi yang bisa menjadi impian semua orang. Kecuali
buat dia. Kontaknya dengan penguasa keamanan, kepada siapa dia menjual kepala
teman-teman selama ini, memungkinkannya untuk mengosongkan dengan paksa satu
areal tanah di tepi kota. Bagian depan lahan itu dia cita-citakan sebagai rumahnya
di dunia baka. Setelah lahan itu dia kuasai, boleh dibilang hampir saban hari
dia berdiri di situ, memandangi kota yang terhampar di bawah, walau alam terasa
tak bersahabat dengannya. Kakinya terasa kebas. Ranting-ranting kemboja mena-
tapnya dengan dingin. Seperti mengejek. Sementara angin darat yang lembab
berdebu berbisik dengan culas di kakinya.
Jatuhnya sang tiran
dan perubahan politik yang tak pernah terbayangkan, dari hari ke sehari membuat
hatinya semakin ciut, menggigil. Dia sadar akan apa yang telah dia lakukan
terhadap teman-temannya selama ini. Dan betapa mencemaskan kemungkinan dendam
yang harus dia hadapi. Kecemasan dan ketakutan yang semakin mendesakkannya ke
lubang maut. Dan kematian akhirnya datang meringkusnya berbarengan dengan
kecemasan yang tak tertahankan. Suatu subuh, batang tubuhnya menggigil hebat,
lantas kejang, kaku, dan dia mati bak pisang yang terlalu dalu.
Kehendak siapa
sehingga rumah duka tetap sepi manakala jenazahnya sudah berjam lamanya menanti
pelayat? Masa lalu yang ditinggalkan oleh dia, yang terbaring membatu di ruang
tengah itu, benar-benar telah datang membawa dendam. Tiada teman lama yang
datang. Orang-orang militer, yang menangguk dari petualangannya, juga tak
terlihat batang hidungnya. Pepatah, “Habis manis sepah dibuang”, sungguh
menemukan tamsil pada peti mati itu. Kesepian mendidih. Tak ada kematian
sesia-sia ini.
Selepas lohor, peti
berselimut kain hijau itu diantarkan mobil jenazah ke pekuburan. Keranda
dibujurkan di tanah, dengan kepala jenazah menghadap ke arah kota. Kemudian,
mobil jenazah meninggalkan petak kematian. Sunyi di siang bolong, di pekuburan
itu, semakin menekan. Angin kering. Tak tercium bau air mawar. Tak ada karangan
bunga. Tak selembar kartu tanda turut berdukacita yang tiba di pemakaman itu.
Suasana mengingatkan pada lukisan termasyhur tentang seekor celeng yang mati
membusuk, kepala tersungkur, digerayangi gagak dan lalat hijau mengiringi
kematiannya yang hina di tepi kota. “Tanpa bunga dan telegram duka,” *) begitu
teks lukisan tersebut.
Persis di kepala
keranda, sang istri, satu-satunya pengantar jenazah, tampak berlutut. Gaunnya
mencium tanah. Selembar setangan remuk diremas-remas jemarinya. Sebentar-bentar
dia telungkupkan wajah di kepala peti jenazah. Dengan mata merah, dia menatap
ke arah kota. Kehilangan memang membuat dia menangis, walau tak sampai
membuatnya tersedu. Perilaku suaminya itu semasa hidup menjadi ganjalan,
sehingga mata dan hatinya tersendat dalam menumpahkan duka. Dia berdiri dan
melangkah beberapa depa ke depan, menatap kota seperti hendak mengadu kepada
warga di bawah sana. Kemudian, pelayat tunggal itu mundur kembali mendekati
peti mati dan menyebarkan pandang ke sekeliling. Angin siang yang lembab
membuat bulir air duka tertahan di tapuk matanya.
“Ba, tak kusangka,”
bisiknya perlahan, terlalu perlahan, di kepala peti mati suaminya itu. “Oh,
siapa yang menyangka bisa jadi begini…?” Peti mati itu tetaplah peti mati.
Wanita itu sedang mengadu kepada debu dan angin yang terbang, barangkali.
Memang, tak siapa
pun menyangka. Dia, sebagai istri, tidak. Suaminya, yang terbujur di dalam peti
mati buatan Jepara, itu pun tidak. Lihatlah! Taman pekuburan sungguh sepi. Para
penggali kubur, yang biasanya berebut menawarkan jasa, tak seorang pun
kelihatan. Siapa yang menduga mereka akan melampiaskan dendam terhadap
laki-laki di dalam peti mati itu?
Mereka bergerombol
di segundukan tanah merah, di balik batang-batang kemboja, beberapa puluh meter
dari peti mati. Mereka adalah orang-orang yang tempo hari dengan mudah
dilumpuhkan oleh sepasukan besar aparat keamanan bersenjata, yang datang
menerjang, menguasai tanah itu untuk memenuhi keinginan lelaki yang kini
terkurung di dalam kotak sempit terbuat dari kayu, yang terbengkalai, tak punya
siapa-siapa, kecuali istri, yang cuma bisa pasrah menghadapi sebuah dendam.
Lelaki di dalam
keranda itulah yang membocorkan bahwa lahan yang jadi pekuburan sekarang ini,
dulunya adalah milik sebuah komunitas agama yang dipatoki Barisan Tani
Indonesia awal 1960-an, ketika gencar-gencarnya “aksi sefihak” yang dilancarkan
oleh organisasi tani beraliran merah tersebut untuk melaksanakan landreform.
Bahwa tanah siapa pun, yang lebih dari lima hektar, harus dibagikan kepada
petani tak bertanah, sesuai fatwa undang-undang pokok agraria Republik.
Para penggali kubur
yang tak kuasa menahan dendam, yang memandang peti mati dengan mata nanar dari
gundukan tanah merah di balik pokok-pokok kemboja, adalah anak-anak dari petani
tak bertanah, nan buta huruf, yang dengan sukacita menerima rezeki yang tak
pernah mereka impikan. Tetapi, tanah itu jugalah yang membawa malapetaka
menyusul pemusnahan “sampai ke akar-akarnya” terhadap mereka yang dituduh,
tanpa bukti, membunuh para jenderal. Yang bernasib buruk dicampakkan ke dalam
kuburan massal. Banyak yang darahnya memerahkan air sungai begitu kepala mereka
yang terkulai, karena bacokan atau terjangan peluru, ditendang ke dalam air.
Tahun yang
menakutkan itu telah membakar hati para penggali kubur yang membangkang dan
tetap berdiam diri di gundukan tanah merah itu. Mereka tahu, lelaki di peti
mati itu telah banyak memakan korban di kalangan teman-temannya sendiri. Dan,
persekongkolannya dengan mereka yang bersenjata untuk merampas tanah, di mana
mereka dilahirkan dan dibesarkan, buat mereka hanya pantas untuk dilawan dengan
sebuah pemogokan. Membiarkan jenazahnya tak diterima bumi. Yang telah merampas
tanah, tak sepantasnya kembali ke tanah, itulah barangkali sumpah mereka.
Di gundukan tanah
merah itu semua cuma duduk mencangkung. Mematikan rokok. Diam. Pikiran mereka
melayang mengenang ayah mereka yang dipaksa naik ke atas truk di tengah malam,
dilarikan entah ke mana. Disiksa untuk mengakui apa yang tak pernah mereka
perbuat, atau pikirkan sekalipun. Dalam sebuah buku dilaporkan, karena militer
kewalahan harus memberi makan pesakitan yang begitu banyak pada waktu itu,
lantas dikeluarkan perintah berdarah dingin: “Kirimkan mereka ke sekolah, ke
sukabumi… ya, bunuh mereka!”**)
Angin mengebutkan
debu di pekuburan yang sepi di atas kota.
“Ba…,” lembut sang
istri berkata di kepala peti mati suaminya. Sapaan itu cuma sampai di situ. Tak
berlanjut. Tertahan. Terlalu banyak yang ingin ditumpahkan. Tapi, bibirnya
terkunci. Hatinya berkecamuk, tercabik-cabik, manakala teringat pada
tahun-tahun yang tak tertahankan, yang harus dia lalui, lantaran perbuatan
lelaki yang kini terpaku di dalam peti mati di ujung kakinya.
Mula-mula tersebar
kabar suaminya itu menjadi tukang tunjuk militer yang sedang mengejar
orang-orang yang terpesona dengan lambang palu-arit, juga banteng ketaton, dan
segala simbol yang melambangkan perlawanan terhadap penindasan orang- orang
yang dihinakan. Tak pernah sebelumnya hatinya ciut seperti saat itu. Apa mau
dikata…
Menyusul pula kabar
bahwa “Ba” datang sendiri di tengah malam, mengacungkan pistol setelah
mendobrak pintu rumah persembunyian teman-temannya di dekat pusat kota. Dua
jeep penuh militer, yang mengenakan jaket sipil, menunggu di luar. Dari rumah
itu diangkut enam temannya sendiri. Sesampai di markas militer, yang berubah
menjadi kamp konsentrasi, dia pulalah yang menginterogasi teman-temannya itu,
satu per satu. Tentu, dia mengenal mereka seperti mengenal jari-jarinya
sendiri. Kalau ada yang menyembunyikan sesuatu, dia sendirilah yang
mengeluarkan perangkat kejut listrik untuk memaksa pengakuan. Pentolan Komunis
nomor dua waktu itu, hanya bisa tertangkap karena jasanya.
Ketika darah dan
daging orang-orang, yang menurut kekuasaan yang sedang merangkak merebut
kekuasaan, sudah ditekuk semua, “Ba” terbang ke Paris dan Amsterdam, tempat
persembunyian mereka yang tak berani pulang ke negerinya sendiri, karena takut
menghadapi kekejaman. Di Paris, dia memata-matai restoran yang diusahakan
mereka yang terbuang, yang menyandang nama sebagai eksil. Kepada salah seorang
di antara pelayan orang Indonesia di situ, dia memaksa untuk ikut dan menginap
di rumahnya.
“Hambuslah kau dari
depan mataku! Ini negeri bebas dan beradab, Tuan! Pulanglah kau manusia tak
tahu diri…!” kata orang buangan itu dengan sengit. Dia ketemu batunya dan
pulang menggigit jari. Tak ada yang bisa dilaporkan kepada atasannya untuk
kredit yang lebih besar. Tetapi, ketika dia mendengar seorang putra Bali,
sastrawan yang pernah bergabung dalam Lekra, berangkat ke Jerman untuk menemui
bekas pacarnya di sana, terbukalah celah buatnya untuk menjilat ke atas. Anak
Bali itu, yang pernah mendekam hampir sepuluh tahun dalam tahanan, dia
interogasi. Dia dituduh membangun jaringan baru di Eropa. Putra dari Bali itu
menampik tuduhan, dan memilih untuk membiarkan sekujur tubuhnya dibalut
balur-balur darah jejak sabetan ekor pari kering.
Kabar tentang
pendurhakaan itu datang tumpuk-menumpuk selama tiga puluh tahun lebih,
membebani hati wanita yang sekarang berlutut di sisi peti mati suaminya. Dia
hidup menyendiri, tersisih dari teman-temannya. Badannya kurus kering menanggung
malu. Kering-kerontang cairan dalam tubuhnya tidak memungkinkan untuk
mengharapkan datangnya seorang bayi. Karena itulah dia, dan suaminya, memungut
anak.
Sekarang, dalam
dukanya yang penghabisan di pemakaman yang ganjil itu, dia bisa menerima kalau
teman-temannya tak mau datang melayat. Tetapi, sama sekali terasa seperti
sembilu, manakala dia temukan bahwa setelah menunggu berjam-jam, namun sang
anak yang bersekolah di Australia tidak juga tiba. Berkali-kali dia melemparkan
pandang dan harap ke jalan masuk pemakaman, tapi gerbang itu cuma dilalui angin
yang lembab. Membuat matanya tambah sembab. Dia menyandarkan kening di hulu
keranda.
Tiba-tiba dia
mendongakkan kepala. Ada kerisik langkah kaki di rumput kering. Samar,
dilihatnya seorang penggali kubur mendekat.
“Kami tak sampai
hati melihat Ibu menderita serupa ini. Ibu tak bersalah. Tapi, orang ini,” ujar
penggali kubur itu seraya menunjuk-nunjuk peti mati, “bagaimanapun harus
dihukum.” Orang itu berkata seperti mengeja kata-katanya. Dia meletakkan sebilah
cangkul, beberapa langkah dari kaki wanita itu. “Gunakanlah…,” tukang gali itu
membujuk.
“Aku tahu apa yang
telah dia lakukan. Bisa kurasakan bagaimana penderitaan ayah dan keluarga
kalian, dan juga ratusan orang lain. Tapi, dia suami yang tidak pernah berniat
meninggalkan aku. Dia juga sering mentraktir makan sesama kawannya seniman.
Tiap tujuh belas Agustus, tak pernah lupa dia membawakan tumpeng ke pusat
kebudayaan. Akulah yang membuat tumpeng itu. Aku tahu kebaikannya itu tiada
sebanding dengan pendurhakaan terhadap teman-temannya. Terhadap kalian.
Tetapi…” Belum sempat dia menyempurnakan kalimat, penggali kubur itu menampik:
“Kami tak punya pilihan.” Dan orang itu beringsut pergi.
Azan, yang tadinya
terdengar bergulung-gulung dari kota di bawah, sudah lama lenyap. Tak ada
suasana duka di pekuburan itu. Kecuali pada sebentuk hati seorang istri yang
harus menggali sendiri liang lahat untuk jenazah suaminya. Bayangan panjang
pohon kemboja menghampar sampai ke kota. Matahari, yang segera menyuruk ke ufuk,
juga mengoleskan bayangan panjang dari sosok wanita yang sedang berduka itu. Di
bumi yang dipijaknya, tampak siluet hitam dari tangannya yang menggenggam pacul
dan menghantamkannya ke tanah, membuka secelah gua garba di situ untuk peti
mati suaminya. Bayangan gelap tubuhnya, yang terantuk-antuk menguakkan tanah,
jatuh membentang ke arah kota di bawah dan sesekali ditingkahi kilap mata pacul
yang menyambar-nyambar. ***
*) Teks salah satu
lukisan trilogi berburu celeng, Joko Pekik.
**) Hermawan
Sulistyo, “Palu Arit Di Ladang Tebu”.
Written by tukang kliping
4 Februari 2007 pada 15:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar